RUU TNI dan Suara Rakyat: Antara Aspirasi, Anarkisme, dan Reaksi Aparat

Kamis, 27 Maret 2025 19:26 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Demokrasi Indonesia
Iklan

Demo RUU TNI diwarnai anarkisme dan kekerasan aparat. Jurnalisme warga berperan penting dalam mengawasi dan menjaga transparansi demokrasi

Gelombang demonstrasi menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI yang tengah dibahas di DPR menandai betapa pentingnya partisipasi publik dalam mengawal kebijakan strategis negara. Sejumlah pasal dalam RUU ini dinilai kontroversial karena berpotensi memperluas kewenangan militer di ranah sipil, sesuatu yang dianggap sebagai langkah mundur dari reformasi militer yang diperjuangkan sejak 1998.

Namun, di tengah perjuangan masyarakat menyuarakan kritiknya, demonstrasi yang berlangsung di berbagai daerah tidak selalu berjalan damai. Ada dua permasalahan utama yang mencuat: anarkisme yang dilakukan oleh sebagian pendemo serta tindakan represif aparat keamanan dalam menangani massa. Kedua fenomena ini mencoreng esensi demokrasi yang seharusnya mengedepankan kebebasan berekspresi dengan tetap menjunjung tinggi hukum dan ketertiban.

Aksi Anarkisme: Mengaburkan Substansi Perjuangan

Demonstrasi pada dasarnya adalah bentuk sah dari kebebasan berpendapat yang dijamin oleh konstitusi. Namun, ketika aksi turun ke jalan berubah menjadi perusakan fasilitas umum, pembakaran ban, pelemparan moloto, pelemparan batu ke arah aparat, hingga perusakan kendaraan dinas membuatĀ pesan yang ingin disampaikan justru menjadi bias.

Kelompok-kelompok tertentu yang bertindak anarkis sering kali membuat masyarakat luas kehilangan simpati terhadap gerakan tersebut. Bukannya fokus pada substansi kritik terhadap RUU TNI, publik justru lebih banyak membicarakan kerusuhan yang terjadi. Hal ini berbahaya karena dapat menjadi alasan bagi pemerintah untuk menstigma demonstran sebagai perusuh, yang kemudian berujung pada pembatasan hak untuk menyampaikan aspirasi di ruang publik.

Selain itu, tindakan anarkis dalam demo juga dapat memberi justifikasi bagi aparat keamanan untuk bertindak lebih keras dalam menangani massa. Ketika bentrokan terjadi, tidak jarang yang menjadi korban adalah para demonstran yang sebenarnya turun ke jalan secara damai dan ingin menyuarakan pendapat mereka secara tertib.

Kekerasan Aparat: Wajah Lama yang Masih Terulang

Di sisi lain, aksi kekerasan aparat dalam menangani demonstrasi juga masih menjadi persoalan besar. Sejumlah laporan menunjukkan bahwa aparat menggunakan gas air mata secara berlebihan, melakukan pemukulan terhadap demonstran, hingga melakukan penangkapan sewenang-wenang terhadap peserta aksi.

Fenomena ini bukanlah hal baru. Sejak era reformasi, berbagai demonstrasi besar di Indonesia sering kali dihadapi dengan tindakan represif oleh aparat. Padahal, dalam sebuah negara demokrasi, aparat seharusnya berperan sebagai pengayom yang menjaga keamanan tanpa melanggar hak asasi manusia.

Selain itu, kekerasan terhadap jurnalis warga yang meliput aksi juga menjadi perhatian. Tidak sedikit video dan foto beredar yang menunjukkan bagaimana aparat mengintimidasi bahkan menangkap warga yang merekam jalannya demonstrasi. Padahal, dokumentasi dari masyarakat ini menjadi bukti penting dalam mengawasi jalannya aksi dan mencegah adanya pelanggaran hak oleh pihak berwenang.

Peran Jurnalisme Warga dalam Mengawal Demokrasi

Di era digital, jurnalisme warga memiliki peran yang semakin penting dalam mengawal kebebasan berpendapat dan memastikan transparansi dalam peristiwa-peristiwa politik seperti demonstrasi ini. Berkat media sosial, masyarakat kini dapat langsung menyaksikan situasi di lapangan tanpa harus menunggu liputan dari media arus utama yang terkadang memiliki kepentingan tertentu.

Jurnalisme warga memungkinkan setiap individu untuk:

  1. Mendokumentasikan peristiwa secara real-time, sehingga informasi dapat segera tersebar ke publik.

  2. Menyuarakan perspektif dari sisi rakyat, yang sering kali terabaikan oleh media mainstream.

  3. Mengawasi tindakan aparat, sehingga jika terjadi pelanggaran hak asasi manusia, ada bukti yang bisa digunakan untuk menuntut pertanggungjawaban.

Namun, ada tantangan besar yang harus dihadapi. Di tengah derasnya arus informasi, tidak semua yang beredar dapat dipastikan kebenarannya. Oleh karena itu, masyarakat yang berpartisipasi dalam jurnalisme warga juga harus memiliki kesadaran untuk memverifikasi informasi sebelum menyebarkannya agar tidak menambah kekacauan atau menyebarkan hoaks yang justru merugikan gerakan sosial itu sendiri.

Demokrasi Butuh Ruang, Bukan Represi

Demonstrasi menolak RUU TNI adalah bukti bahwa masyarakat masih memiliki kepedulian terhadap arah kebijakan negara. Namun, agar aspirasi benar-benar tersampaikan, aksi anarkisme harus dihindari, dan aparat keamanan harus menahan diri dari tindakan represif.

Jurnalisme warga memiliki peran penting dalam mendokumentasikan realitas di lapangan, baik dalam mengungkap pelanggaran maupun menyampaikan pesan dari aksi demonstrasi itu sendiri. Di era digital, demokrasi tidak hanya diperjuangkan di jalanan, tetapi juga di ruang informasi.

Jika pemerintah benar-benar mendengar suara rakyat, maka aspirasi yang disampaikan dalam demonstrasi ini harus menjadi bahan evaluasi, bukan justru dibungkam dengan kekerasan. Sebab, demokrasi yang sehat bukanlah demokrasi yang takut terhadap kritik, tetapi yang mampu berdialog dengan rakyatnya secara terbuka dan transparan.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Mohammad Annaryan Ardiansyah

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terkini di Analisis

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Analisis

Lihat semua